Pada dasarnya remaja adalah sosok yang cerdas dan kreatif. Sayangnya, kreativitas mereka kurang dikembangkan secara maksimal, jangan salahkan remjaanya, bagaimanapun orangtualah yang justru perlu intropeksi diri. Apa yang dilakukan mahasiswa Jepang dan Amerika Serikat ketika guru atau dosen menjelaskan sesuatu? Mereka berlomba-lomba mendiskusikan maupun melakukan percobaan guna menguji penjelasan tersebut.
Bagaimana dengan siswa atau mahasiswa di Indonesia? Mereka hanya mencatat! Ilustrasi di atas menggambarkan betapa sistem pendidikan di Indonesia kurang rnengembangkan kreativitas. Kisah tersebut mengawali paparan DR. Seto Mulyadi tentang pentingnya mengembangkan kreativitas. Psikolog yang kerap disapa Kak Seto ini bahkan menyebut sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terbaik dalam membunuh kreativitas anak. Sering ada lelucon satir yang menggambarkan para kolektor memilih otak orang Indonesia karena masih utuh alias jarang dipakai.
Kurikulum pendidikan disebutnya kurang berpihak pada hak anak. Sekolah hanya membuat anak mengisi jawaban pertanyaan sesuai kunci, sehingga anak menjadi seperti robot yang tidak kreatif atau berkembang. Otak anak pun dijejali berbagai pelajaran, yang membuat mereka tidak punya waktu bermain.
Munculnya fobia sekolah adalah lumrah karena sekolah membuat tidak nyaman, tak menyenangkan, dan cenderung dihindari. Anak jadi suka membolos, lebih asyik chatting, bermain games, tawuran, merokok, dan berujung pada narkoba, sesungguhnya merupakan rentetan ekses dari sistem pendidikan yang tidak mengembangkan anak secara utuh.
DR. Seto menolak jika seorang anak hanya dinilai berdasarkan IQ. "Spektrum cerdas itu luas," katanya. "Kita tidak bisa membandingkan siapa yang lebih hebat, apakah Einstein, Picasso, atau Beatles karena mereka sama hebatnya."
Semua anak pada dasarnya juga cerdas dan kreatif. Hanya jenis kecerdasannya berbeda-beda dengan tingkat yang juga berbeda. "Anak pada prinsipnya senang belajar. Kalau ada anak tidak senang belajar, yang salah berarti orangtua dan guru, bukan anaknya." ujar Seto.
Orangtua hendaknya memahami bahwa gaya belajar anak berbeda-beda. Ada anak yang senang belajar sambil mendengarkan musik, ada yang dengan membuat gambar, dan lain sebagainya. Belajar yang efektif haruslah menyenangkan, penuh kreativitas, dan serba baru. Ia mencontohkan, pada anak yang senang musik, buatlah pelajaran dengan nyanyian. Saat menceritakan sejarah misalnya, buatlah seperti rnendongeng.
"Buatlah cara seperti saat kita mengajar bahasa ibu ketika anak masih kecil. Dengan cara seperti ini anak merasa lebih nyaman belajar," kata Ketua Komnas Perlindungan Anak ini. Bandingkan bila anak belajar dibawah tekanan atau bentakan, anak tidak mau lagi belajar. Yang lebih parah, kondisi itu akan mematikan kreativitas. ini karena kreativitas akan timbul dalam suasana yang menyenangkan.
Itu sebabnya guru mestinya menjadi idola bagi anak dan remaja. Begitu juga orangtua. Dengan begitu, anak akan lebih senang belajar. "Ibaratnya guru dan orangtua harus menjadi artis serba bisa. Mereka harus bisa menjadi penyanyi, pendongeng, seniman, pelawak, pesulap, serta urusan dalam mengajarkan anak." paparnya. "Dijamin kegiatan belajar akan lebih efektif dengan mengetengahkan unsur hiburan, permainan, serta warna warni."
Suasana menyenangkan akan membuat anak giat belajar dan menghasilkan banyak kreativitas. Namun, jangan lupa, ketika anak atau remaja menelurkan kreativitasnya, beri acungan jempol. Katakan kepada mereka, ‘Kamu kreatif’ Cara ini akan mengembangkan konsep diri positif pada remaja, selain itu, rasa percaya diri mereka juga bertambah, dengan respon positif dari orang-orang terdekat.
Sistem pendidikan harusnya lebih menghargai kreativitas. Dengan begitu ekspresi diri dan hanga diri mereka menjadi positif. Memberi suasana menyenangkan tidak berarti mengabaikan kedisiplinan.
"Kreativitas tidak bertentangan dengan kedisiplinan. Malah, kedisiplinan akan ikut mengembangkan kreativitas," imbuhnya.
Untuk menumbuhkan kedisiplinan, orangtua bisa meminta komitmen pada anak. Contohnya, anak berkomitmen bangun tidur di pagi hari, shalat, dan lain sebagainya. Jadi, ketika anak melakukan pelanggaran, orangtua tinggal mengingatkan anak pada komitmen yang telah dibuat.
Hukuman muncul bukan karena pribadinya, tetapi akibat perilakunya. Disiplin juga membuat anak tumbuh tidak manja. "Harus dibedakan antara kekerasan dengan sikap tegas. Tegas tidak dengan menampar atau membentak. Cara-cara seperti itu harus dihentikan. Kekerasan akan melahirkan kekerasan yang lebih besar di masa depan," katanya.
0 comments:
Post a Comment